Banyak orang mengaku dirinya Kristen, namun sebenarnya tidak mengerti arti kekristenan. Akhirnya, kehidupannya justru cenderung menjadi batu sandungan bagi orang lain dalan mengenal Yesus. Ditambah dengan pesan penginjilan yang tidak seimbang, yang hanya menekankan tentang berkat saja, membuat banyak orang yang kemudian kecewa kepada Yesus.
Jika kita melihat di Kisah Para Rasul 11:26, “Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen.” Ternyata seharusnya yang disebut Kristen adalah para murid, bukan cuma sekedar pengikut, yaitu orang yang percaya pada Yesus saja. Pada masa pelayananNya pun Yesus membedakan perlakuan antara kepada murid-muridNya dan kepada orang banyak (Mat 13:10-13).
Sebagai orang Kristen yang notabene seharusnya kita adalah murid Yesus, ada beberapa syarat yang Yesus berikan. Matius 16:24 berkata, “Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” Mengikut Dia adalah tahap ketiga setelah menyangkal diri dan memikul salib. Bagaimana dengan orang Kristen sekarang? Bukankah urutannya terbalik? Kita suka disebut Kristen, tapi tidak suka menderita.
Tidak ada orang yang suka menderita. Yesus pun sempat merasa takut saat ia berdoa di Taman Getsemani. Tapi kita harus bisa mengakrabi penderitaan. Mengapa? 2 Korintus 3:18 yang merupakan ayat terakhir (merupakan kesimpulan) pada pasal itu berkata bahwa kita mencerminkan kemuliaan Tuhan. Tapi anehnya, seluruh pasal 2 Korintus 4 menjelaskan tentang ujian dan penderitaan.
Padahal untuk dapat bercahaya, suatu hal harus melewati proses tekanan terlebih dahulu. Emas contohnya. Ia harus dilebur dalam api dulu sehingga bisa terpisah dari pasir dan kotoran lainnya. Begitu juga kita. Justru di dalam tekananlah kita bercahaya. Ada 3 reaksi salah yang seringkali seseorang lakukan saat masalah tiba. Pertama ia akan lari menjauhi masalah tersebut. Kedua jika ia tidak dapat lari, ia menjadi galau atau terlalu melankolis. Ketiga mungkin ia akan mencari jalan pintas supaya msalah tersebut cepat selesai.
1 Korintus 3 menjelaskan bahwa sebenarnya yang menguji tiap orang adalah dirinya sendiri (1 Korintus 7:9 bahkan jelas mengatakan itu adalah hawa nafsu kita). 1 Korintus 3:14-16 berkata,
Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api. Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?
Jika kita tidak tahan uji, maka kita tidak akan bercahaya. Ataupun kalau kita hanya separuh-separuh, hasilnya kita akan hangus, seperti baru keluar dari api. Yesus datang ke dunia untuk menderita. Allah adalah kasih. Dan kasih hanya dapat dibuktikan dengan pengorbanan. Jika kita mengaku sebagai orang Kristen, seharusnya kita lebih mahir menderita dibanding yang lain.
Karena itu mulai sekarang kita harus belajar untuk melihat proses dengan sudut pandang yang berbeda. Memandang proses sebagai sebuah sanjungan karena kita dapat menjadi pengikut Yesus. Yang Rasul Paulus selalu banggakan pun adalah dalam penderitaan yang dia alami dalam memberitakan injil (2 Kor 11:21-30).
Ada kutipan yang berkata, “Let your mess become your message and your test become your testimony”. Seharusnya tiap proses yang terjadi dalam hidup kita membuat kita makin dewasa dan sempurna di dalam Dia dan menjadi kesaksian kita bagi sekeliling kita. 1 Kor 4:20 berkata, “Sebab Kerajaan Allah bukan terdiri dari perkataan, tetapi dari kuasa.” Kita tidak bisa hanya menginjil dengan perkataan kita, tetapi teladanlah yang akan membuat perkataan kita didengar.
(Gambar dari berbagai sumber)