Apakah kita pernah menyadari bahwa seringkali untuk membicarakan sesuatu yang serius dalam bentuk tulisan, lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris? Seringkali kata-kata bijak atau kata mutiara lebih banyak diungkapkan dalam bahasa Inggris. Pernahkah berpikir mengapa itu terjadi? Apakah hanya kebetulan?
Bisa ya, bisa tidak. Bisa jadi hanya karena pilihan personal dari seseorang. Tapi setidaknya aku jarang sekali menjumpai kata-kata bijak yang berbahasa Indonesia. Setelah diselidiki, jawabannya terletak pada kebiasaan atau lebih tepatnya kepada budaya! Ya, kita di Indonesia tidak terbiasa untuk berada dalam situasi yang serius. Situasi yang bagaimana itu?
Yang dimaksud dengan situasi yang serius di sini bukan hanya serius misalnya saat kita berada di kelas atau saat rapat. Tapi misalnya saat kita serius berbicara dari hati ke hati dengan seseorang, atau justru saat kita sedang berkonflik dengan seseorang. Orang Indonesia cenderung terlalu terbawa emosi atau perasaannya. Sebagian besar, bahkan aku yakin 95% lebih orang yang sedang berada pada situasi berkonflik sedang mengatakan “Kau adalah musuhku”. Bahkan situasi ini berlaku pada sebagian besar orang yang berkata “Aku tidak begitu”, mungkin perlu dicek sekali lagi apakah memang benar tidak demikian.
Itulah mengapa di Indonesia teguran tidak membudaya, pujian tidak membudaya, singkatnya, komunikasi secara jujur tidak membudaya. Mungkinkah hal ini hanya terjadi secara kebetulan? Kelihatannya tidak. Bahkan, kalau kita melihat di televisi, acara stasiun televisi kita dipenuhi oleh keempat hal ini secara urut, yaitu humor, cinta, horor dan berita. Dan memang terbukti acara-acara yang ber-genre seperti itu akan memiliki rating lebih tinggi. Bahkan, film kita pun tidak lepas dari jeratan ini. Film-film seperti “Garuda di Dadaku”, “King” dan sebagainya masih sangat sedikit jika dibandingkan yang seperti “Tali Pocong Perawan” dan sebagainya. Karya-karya yang legendaris sepanjang masa justru banyak dihuni oleh Srimulat, Warkop, Benyamin S. yang notabene mengusung humor.
Aku rasa ini adalah kelebihan sekaligus kekurangan kita. Namun ada kekurangan yang akhirnya bersifat mendasar, karena menghambat komunikasi kita secara verbal dan personal. Jika kita lihat dan bandingkan film-film kita dibandingkan film-film Barat, misalnya, jarang sekali kita bisa menemukan sebuah percakapan berkualitas antara dua orang, atau misalnya saat ada seorang yang menegur yang lainnya tanpa ada hard feeling sebagai akibatnya.
Namun jaman bisa berubah. Dan aku percaya, mungkin arus budaya dari luar yang satu ini adalah budaya yang bagus untuk dapat masuk dan berkembang menjadi sebuah budaya yang baru di kalangan masyarakat Indonesia. Budaya di mana pemikiran rasional mendapat tempat lebih seharusnya dari pada saat ini!