Gereja dan Realitanya

Melihat gereja, bagi sebagian orang sama seperti rumahnya sendiri. Di situ ia merasa begitu berbeda, kuat dan merdeka. Kebaktian yang diadakan, rasanya begitu kudus, megah dan membuat bulu kuduk berdiri. Namun, dari segala hal yang terjadi, tidak bisa dipungkiri, ada banyak kenyataan yang membuat pikiran kita menjadi tidak sejuk. Rasanya melihat gereja dan posisinya di hati jemaat, jika boleh, lebih baik tidak mempercayai fakta-fakta yang ada.
Namun, sama seperti semua bidang di dunia, di gereja pun terjadi penyimpangan-penyimpangan. Sesuatu yang tidak bisa kita pungkiri. Sebut saja 2 kisah dari temanku ini. Seorang berkata:

“Di gerejaku perpuluhan tidak boleh diberikan di luar gereja, harus diberikan kepada gereja…”

Yang kedua, dalam statusnya di facebook berkata:

“Wah, sayang sekali, karena ada pelayanan di kampus jadi nggak bisa ikut acara di gereja. Jadi merasa berdosa”

[Tekanan oleh saya]
Mari kita pikirkan lagi. Apakah ada yang aneh dengan perkataan di atas? Silakan pikirkan baik-baik. Untuk yang pertama, meskipun Tuhan menyuruh kita untuk mengumpulkan perpuluhan, tapi tidak pernah disebutkan harus diberikan ke gereja lokal, hanya Maleakhi 3:10 berkata “supaya ada persediaan makanan di rumahKu”, yang pastinya itu bukan masalah untuk perut imam-imam waktu itu, tapi justru untuk orang-orang yang kekurangan atau para pengelana. Bandingkan dengan kisah Daud waktu dikejar-kejar oleh Saul, ia minta makan di rumah Tuhan di Silo dan mengambil pedang Goliat.
Aku percaya guna dari persediaan makanan itu lebih untuk hal itu. Hanya 1 pertanyaanku untuk para gembala pada kasus pertama, “Apakah kalian tidak percaya bahwa Tuhan akan mencukupi kebutuhan kalian sehingga harus demikian?”. Banyaknya kasus yang seperti demikian terjadi, sehingga makin banyak pengusaha yang punya ‘sampingan’ dengan mendirikan gereja. Bayangkan saja, sekian persen dari perpuluhan jemaatnya adalah milik gembala. Berapa jika dihitung?
Yang kedua, mengapa banyak kasus pelayan Tuhan yang begitu kuat dan sempurna di gereja tapi begitu ada di kampus atau pekerjaannya tidak memiliki kinerja yang baik? Dan ini adalah fakta. Bahwa seseorang begitu merasa berdosa jika melakukan kesalahan di gereja dibandingkan jika di tempat lain.
Padahal kita semua harus sepakat, segala sesuatu diciptakan Allah di dunia ini baik adanya. Artinya gereja hanyalah salah satu dari banyak hal dimana kita harus sempurna. Tidak boleh ada dikotomi, gereja itu suci, sedangkan yang lain tidak. Sama seperti di gereja kita harus suci, di dunia kerja kita, kita juga harus suci. Artinya tidak melakukan kesalahan. Bukankah demikian?
Yang pasti, tujuanku untuk mengatakan hal ini karena cukup prihatin dengan keadaan yang ada. Dan sama seperti komentar dari seorang pemimpin rohani yang cukup aku segani, yang cukup sengit menentang statusku di facebook tentang “pembodohan gereja”, hal ini tidak untuk didiskusikan. Oleh karena itu, pembicaraan berhenti sampai di sini. Aku hanya ingin kita semua berpikir dan merenung ulang. Kata-kata “bagaimanakah seharusnya” harus kita tanyakan.
Bagaimanapun, gereja dan pemimpinnya bukanlah sesuatu yang sempurna. Dan ketidaksempurnaan itu bukanlah sesuatu yang harus kita toleransi, hanya karena ia adalah gereja, tempat dimana kita “dibesarkan”. Sama seperti aku mengkritik tentang pemerintahan ataupun cara kerja bangsa Indonesia, begitu juga aku mengkritik gereja. Dan lebih baik mengkritik daripada tidak bertindak sama sekali, karena mungkin hanya kritik yang bisa aku berikan, karena aku tidak secara penuh berkecimpung di gereja. Dan bagaimana bisa solusi tercipta jika pemimpinnya saja belum sadar. Dan bagaimana bisa menyadarkan jika akses menujunya tidak kita miliki?
Mungkin ada beberapa dari anda yang membaca adalah orang yang berkecimpung di gerbang spiritual ini. Solusi sepertinya lebih menjadi tanggungjawab anda daripada saya. Dan mungkin beberapa dari anda akan membaca hal ini dengan muka yang memerah. Yang pasti, gereja bukan tempat mencari nafkah. Sama seperti seharusnya di tempat-tempat lain pun, fokus kita bukan untuk mencari uang, tapi untuk menjadi sempurna dan memuliakan nama Tuhan, dan menjadi berkat dengan segala yang kita lakukan.
Kita harus mulai menempatkan gereja dalam derajat yang sama dengan bidang lainnya. Jika di gereja kita merasa berdosa karena melakukan kesalahan, di bidang kita yang lain, kampus, pekerjaan, dan lainnya, kita juga harus merasa yang sama. Aku bukanlah orang yang kepahitan dengan gereja dengan segala pernyataan yang kusampaikan. Aku masih bergereja, perpuluhan, dan pelayanan di gereja. Namun fakta tetaplah fakta. Aku kira kita tidak boleh tutup mata dengan hal itu, karena seharusnya gereja menjadi motor pergerakan. Jika gereja hanya bisa membuat KKR dan atau demi ‘memanipulasi’ jemaatnya, bagaimana pemulihan Indonesia bisa terjadi? Karena pemulihan Indonesia tidak berarti membuat Indonesia menjadi orang Kristen, tetapi membuat Indonesia bisa melihat kemuliaan Allah melalui apa yang kita perbuat, sehingga tidak ada satupun orang bisa memandang Indonesia dengan sebelah mata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *